Skripsi
Permpuan dan Tenunan. Suatu refleksi teologis terhadap budaya menenun dalam masyarakat Sabu dan implikasinya bagi jemaat Syalom Reiliu, klasis Sabu Barat Raijua
ABSTRAK Anggota Jemaat Syalom Raeliu, yang termasuk masyarakat Desa Ledeana dan Desa Raedewa, hidup di dalam kebudayaan Sabu. Salah satu aspek budaya yang masih ada di dalam tatanan kehidupan jemaat di tempat ini adalah budaya menenun. Menenun merupakan salah satu aspek budaya yang diidentikan dengan kaum perempuan karena pada umumnya, yang memiliki ketrampilan menenun adalah kaum perempuan. Selain itu, budaya menenun juga merupakan salah satu wadah bagi kaum perempuan Sabu menunjukkan kehadirannya (garis keturunan perempuan hubi, wini) dan peranan di tengah-tengah masyarakat. Melihat hal yang demikian, maka penulis meneliti budaya menenun di Jemaat Syalom Raeliu dalam rangka melihat nilai yang terkandung di dalam budaya menenun perempuan Sabu. Sumbangan yang diberikan oleh kaum perempuan Sabu melalui budaya menenun untuk menunjukkan keberadaan diri kaum perempuan sebagai gambar dan rupa Allah di Jemaat Syalom Raeliu, Klasis Sabu Barat-Raijua. Untuk mencapai tujuan yang di maksud, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Selanjutnya data yang dikumpulkan kemudian dianalisis serta direfleksikan secara teologis dengan menggunakan model pendekatan teologi antropologis yang diperkenalkan Bevans. Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa budaya menenun di dalam masyarakat dimuati nilai-nilai kebaikan. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi sarana bagi pemberita Injil untuk membangun pemahaman teologi sehingga Injil dapat dipahami berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sabu. Pemahaman teologis yang dibangun dari budaya menenun masyarakat Sabu dapat dilihat dalam dua poin. Pertama, penulis membangun pemahaman teologi mengenai kaum perempuan sebagai gambar dan rupa Allah. Pencitraan diri kaum perempuan Sabu sebagai gambar dan rupa Allah tercermin ketika kaum perempuan Sabu menampilkan relasi tiga rangkap. Relasi pertama adalah relasi manusia dengan Allah. Relasi ini tercermin ketika kaum perempuan penenun menampilkan diri mereka sebagai pribadi yang memiliki daya cipta untuk berkarya, bekerja, dan sebagai pemberi kehidupan sebagaimana Allah adalah sang Pencipta dan Pemberi hidup, Allah yang bekerja, dan Allah yang menghargai proses. Relasi manusia dengan manusia tercermin ketika kaum perempuan melalui pemberian karya tenun yang dihasilkannya mewujudkan nilai kasih kepada sesama. Relasi manusia dengan alam tercermin saat kaum perempuan Sabu menggali dan menemukan potensi alam melalui proses menenun. Kedua penulis membangun pemahaman teologis tentang perempuan sebagai pemelihara identitas budaya sekaligus identitas iman. Hal ini nampak ketika perempuan Sabu hadir dengan sehelai kain tenun memperkenalkan identitas diri seseorang yang memakai kain Sabu sebagai orang Sabu dan sekaligus memproklamirkan akan identitas manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Melihat gambaran di atas, jelas terlihat bahwa Allah berkenan memantulkan diriNya untuk dikenal oleh ciptaanNya melalui hidup dan karya kaum perempuan. Ia juga berkenan menjadikan kaum perempuan sebagai mitra dalam menjalankan karya kasihNya bagi umat ciptaanNya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pandangan terhadap kaum perempuan sebagai kaum yang nomor dua, lemah, dan tidak berpotensi tidak sesuai dengan kehendak Allah yang menciptakan perempuan segambar dan serupa dengan-Nya.
795/16 | PTK PUSAT UKAW | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak di pinjamkan |
Tidak tersedia versi lain